Minggu, 08 Januari 2012

penerapan STM dalam meningkatkan life skill

PENERAPAN
PENDEKATAN SAINS-TEKNOLOGI-MASYARAKAT (STM)
DALAM PEMBELAJARAN IPA SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN
LIFE SKILLS PESERTA DIDIK
Oleh :
Sabar Nurohman, S.Pd.Si
Abstrak
Pendidikan IPA selama ini lebih banyak berlangsung secara teks book, hal ini
menyebabkan pembelajaran menjadi tidak bermakna, peserta didik tercerabut dari
kehidupan nyata, dan pada akhirnya pendidikan tidak mampu memberikan bekal
life skills kepada peserta didik. Pendekatan STM menghajatkan agar pembelajaran
yang berlangsung di dalam kelas senantiasa bersesuaian dengan perkembangan
yang terjadi di masyarakat. Sesuai dengan objek kajian IPA yaitu segala fenomena
alam, maka semestinya pendidikan IPA dengan menggunakan pendekatan STM
diharapkan mampu membekali peserta didik dengan life skills agar dapat bertahan
hidup di alam dengan segala dinamikanya.
Kata Kunci : Pendidikan IPA, Pendekatan STM, Life skills
I. PENDAHULUAN
Pendidikan dan kemanusiaan, adalah dua hal yang saling bertalian.
Pendidikan sudah seharusnya selalu berhubungan dengan tema-tema
kemanusiaan. Sebagaimana diungkapkan oleh Suhandoyo (1993), bahwa
hakikat pendidikan adalah untuk mengejar pencapaian kualitas hidup yang
tinggi para peserta didiknya. Pendidikan dengan demikian harus mampu
membongkar dan mengembangkan keseluruhan potensi kemanusiaan
seorang peserta didik sehingga ia memiliki kesanggupan untuk hidup di era
mendatang yang memiliki kompleksitas permasalahan yang jauh lebih rumit
dari yang ada saat ini. Pendidikan juga harus didesain sedemikian rupa agar
mampu membebaskan peserta didik untuk berkreasi menemukan
ketrampilnnya sendiri. Dengan kata lain, pendidikan diselenggarakan untuk
dapat memastikan bahwa para peserta didik memiliki life skills.Terlebih lagi
pendidikan IPA, semestinya pendidikan IPA dengan segala isi dan
karakternya bisa memberikan sumbangan yang lebih riel terhadap peserta
didik agar ia memiliki bekal yang memadai sehingga dapat bertahan hidup
di masyarakat. Hal ini karena pendidikan IPA senantiasa berdekatan dengan
realitas alam yang menjadi tempat hidup peserta didik, sebagaimana
disimpulkan oleh Supriyadi (2003), bahwa IPA adalah keseluruhan cara
berfikir untuk memahami gejala alam, sebagai suatu cara penyelidikan
tentang kejadian alam, dan sebagai batang tubuh keilmuan yang diperoleh
dari suatu penyelidikan. Pendidikan IPA dengan demikian akan mengajak
peserta didik untuk semakin dekat dengan alam tempat ia berpijak.
Keinginan untuk mencetak manusia-manusia yang memiliki modal
cukup sehingga sanggup menghadapi tantangan masa depan sebagaimana
dipaparkan di atas agaknya harus berhadapan dengan realitas yang tidak
cukup menyenangkan. Hingga sekarang, dunia pendidikan masih diwarnai
praktik-praktik yang menghambat bagi proses pembongkaran potensi peserta
didik secara sungguh-sungguh. Kebanyakan sekolah selama ini
menerjemahkan pendidikan IPA sebagai sekedar transfer of knowledge
yang dimiliki guru kepada peserta didik dengan hapalan-hapalan teori
maupun rumus-rumus, sekedar untuk bisa menjawab soal-soal ujian, tetapi
seringkali tidak sanggup untuk menterjemahkannya ke dalam realitas yang
ada di sekelilingnya. Pendidikan dengan demikian tidak cukup memberi
bekal life skills kepada peserta didik bahkan ia menjadi tercerabut dari
problem riel yang seharusnya mereka jawab dan selesaikan.
Lebih parah lagi, sebagaimana diungkapkan oleh Firdaus M Yunus
(2004:ix), pendidikan di Indonesia selama ini hanya berfungsi ”membunuh”
kreativitas peserta didik, karena lebih banyak mengedepankan aspek
verbalisme. Verbalisme merupakan asas pendidikan yang menekankan
hapalan bukannya pemahaman, mengedepankan formulasi daripada
substansi, parahnya ia lebih menyukai keseragaman bukannya kemandirian
serta hura-hura klasikal bukannya petualangan intelektual. Realitas ini
jugalah yang telah menyebabkan pendidikan kita menghasilkan sekian
banyak orang yang cakap mengerjakan soal, namun tidak faham atas makna
rumus-rumus yang ia operasikan dan angka-angaka yang ia tuliskan. Akibat
verbalisme, teori bukannya membumi, malah tercerabut dari pengalaman
keseharian. Pendidikan seolah menjadi tidak harus bersentuhan dengan
persoalan yang telah merealita. Alih-alih menjawab problem mendasar yang
tengah dihadapi oleh peserta didik atau lingkungannya, senyatanya
pendidikan justru menjadi masalah baru karena praktik pendidikan
disterilkan dari keberpihakannya pada problem masyarakat. Pendidikan
yang bergaya verbalistik ini pulalah yang turut menyebabkan pendidikan
IPA menjadi kurang diminati, karena tidak dapat menjawab persoalan
keseharian dan jauh dari pembekalan atas life skills yang bermanfaat
langsung bagi perjalanan hidup peserta didik.
Seringkali dalam proses pendidikan IPA materi tidak sejalan dengan
kenyataan yang dihadapi oleh peserta didik, minimal di tingkat lokal.
Padahal proses pendidikan sesungguhnya dijalankan dalam rangka
memenuhi kebutuhan akan sumber daya manusia yang (minimal) sanggup
menyelesaikan persoalan lokal yang melingkupinya. Artinya, setiap proses
pendidikan seharusnya mengandung berbagai bentuk pelajaran dengan
muatan lokal yang signifikan dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga
output pendidikan adalah manusia yang sanggup untuk memetakan dan
sekaligus memecahkan masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat
dengan life skills yang ia dapatkan di bangku sekolahnya.
Gaya pembelajaran yang mengarahkan peserta didik untuk
senantiasa teks book juga telah mematikan kreativitas peserta didik.
Meminjam istilah yang dikemukakan oleh Djohar, selama ini peserta didik
diajarkan untuk terus-menarus menjadi ”pemulung” produk-produk ilmiah
barat tanpa pernah diarahkan untuk mencoba mengeluarkan produk-produk
orisinil dari pikirannya sendiri. Peserta didik tidak dibiasakan untuk
mengkonstruksi sendiri bangunan pengetahuan berdasarkan pengetahuan
yang telah didapat sebelumnya dan atas pembacannya terhadap realitas yang
ada di sekelilingnya. Kondisi ini telah menyebabkan ”kematian” thingking
skills yang menjadi bagian dari konsep life skills.
Melihat kondisi yang cukup memprihatinkan tersebut, agaknya para
pemerhati maupun praktisi dunia pendidikan di Indonesia dituntut untuk
segera melakukan upaya perbaikan. Dalam hal ini, penulis mencoba
mengangkat salah satu pendekatan pembelajaran dalam IPA yaitu
pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat (STM). Pendekatan ini
dimaksudkan untuk menjembatani kesenjangan antara pembelajaran IPA di
dalam kelas dengan kemajuan teknologi dan perkembangan masyarakat
yang ada di sekitar peserta didik. Melalui pendekatan ini peserta didik juga
dilatih untuk membiasakan diri bersikap peduli akan masalah-masalah sosial
dan lingkungan yang berkaiatan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Melihat dasar pijakan pengembangan pendekatan STM tersebut, maka tidak
berlebihan kiranya jika pendekatan STM dalam pembelajaran IPA layak
dimunculkan sebagai upaya peningkatan life skills peserta didik.
II. KAJIAN LITERATUR DAN BAHASAN
1. Life Skills
Life skills atau biasa disebut sebagai kecakapan hidup jika dirunut
dari segi bahasa berasal dari dua kata yaitu life dan skill. Life berarti hidup,
sedangkan skill adalah kecakapan, kepandaian, ketrampilan. Sehingga Life
skills secara bahasa dapat diartikan sebagai kecakapan, kepandaian atau
ketrampilan hidup. Umumnya dalam penggunaan sehari-hari orang
menyebut life skills dengan istilah kecakapan hidup.
Penjelasan secara lebih komperehensif tentang kecakapan diajukan
oleh IOWA State University (2003: 1), dalam hal ini skill diartikan sebagai
berikut, a skill is a learned ability to do something well. Kecakapan tidak
hanya diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan sesuatu, lebih
daripada itu, kecakapan dimaknai sebagai kemampuan belajar untuk
melakukan sesuatu secara lebih baik. Jadi mampu melakukan sesuatu saja
belum cukup untuk dikatakan sebagai cakap, melainkan kemampuan untuk
melakukan sesuatu tersebut harus ditunjukan secara lebih baik dan
diperoleh melalui suatu aktivitas belajar. Demikianlah IOWA State
University mensyaratkan aspek kesempurnaan dalam konteks skill.
Sedangkan life skills oleh IOWA State University (2003: 1),
diartikan sebagai, are abilities individuals can learn that will help them to
be successful in living a productive and satisfying life. Kecakapan hidup
dimengerti sebagai kemampuan individual untuk dapat belajar sehingga
seseorang memperoleh kesuksesan dalam hidupnya, produktif dan mampu
memperoleh kepuasan hidup. Indikator seseorang telah memperoleh life
skills dengan demikian dapat dilihat dari sejauhmana ia mampu eksis
dalam kehidupannya di tengah-tengah masyarakat. Apabila seseorang
mampu produktif dan membuat berbagai kesuksesan, maka dapat
dikatakan orang tersebut memiliki life skills yang baik.
Definisi lain tentang life skills diuangkap oleh lifeskills4kids
(2000:1) bahwa, In essence, life skills are an "owner's manual" for the
human body. These skills help children learn how to maintain their bodies,
grow as individuals, work well with others, make logical decisions, protect
themselves when they have to and achieve their goals in life.
Secara esensial, life skills didefinisikan sebagai (semacam)
petunjuk praktis yang membantu anak-anak untuk belajar bagaimana
merawat tubuh, tumbuh untuk menjadi seorang individu, bekerja sama
dengan orang lain, membuat keputusan-keputusan yang logis, melindungi
diri sendiri untuk mencapai tujuan dalam hidupnya. Sehingga dalam hal
ini yang akan menjadi tolok ukur life skills pada diri seseorang adalah
terletak pada kemampuannya untuk meraih tujuan (goal) hidupnya. Life
skills memotivasi anak-anak dengan cara membantunya untuk memahami
diri dan potensinya sendiri dalam kehidupan, sehingga mereka mampu
menyusun tujuan-tujuan hidup dan melakukan proses problem solving
apabila dihadapkan pada persoalan-persoalan hidup.
Istilah life skills menurut Depdiknas (2002: 5) tidak semata-mata
diartikan memiliki ketrampilan tertentu (vocational job) saja, namun ia
harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti
membaca, menghitung, merumuskan, dan memecahkan masalah,
mengelola sumber daya, bekerja dalam tim, terus belajar di tempat kerja
dan mempergunakan teknologi. Program pendidikan life skills menurut
Anwar (2004: 20) adalah pendidikan yang dapat memberikan bekal
ketrampilan yang praktis terpakai, terkait dengan kebutuhan pasar kerja,
peluang usaha dan potensi ekonomi atau industri yang ada di masyarakat.
Life skills dengan demikian memiliki cakupan yang luas,
berinteraksi antara pengetahuan yang diyakini sebagai unsur penting untuk
hidup lebih mandiri. Pendidikan yang berorientasi pada life skills berarti
harus senantiasa cerdas menangkap setiap kebutuhan masyarakat.
Keduanya, yaitu lembaga pendidikan dan masyarakat harus
mengupayakan adanya pola hubungan yang dinamis untuk
mengkomunikasikan berbagai persoalan yang harus ditangani oleh
lembaga pendidikan.
Depdiknas (2002: 8) melukiskan komponen life skills dalam
sebuah diagram klasifikasi sebagaimana tertera di bawah ini.
Gambar 2.1 Diagram Klasifikasi Life Skills
Life Skills
General
Life Skills
Spesifik
Life Skills
Vocational Skills
Academic Skills
Social Skills
Thinking Skills
Personal Skills
Life skills yang harus dikembangkan dalam dunia pendidikan
setidaknya terbagi dalam dua kategori, yaitu pertama General Life Skills
(GLS) yang terdiri dari kecakapan mengenal diri, kecakapan berpikir
rasional, dan kecakapan sosial. Sedangkan yang kedua adalah Spesific Life
Skills (SLS) yang terdiri dari kecakapan akademik dan kecakapan
vokational.
Sedangkan Utah State Board of Education (2001: 1-7), memahami
life skills sebagai seperangkat kecakapan hidup yang terdiri dari lifelong
learning, complex thinking, effective comunication, collaboration,
responsible citizenship, dan employability.
2. Karakteristik IPA
Objek kajian pendidikan IPA berada pada berbagai
persoalan/fenomena alam. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh
Supriyadi (1999: 1) bahwa objek kajian IPA adalah segala fenomena
lingkungan (alam) yang berujud titik kecil hingga alam raya yang sangat
besar. IPA menurut Depdiknas (2003: 6) merupakan cara mencari tahu
tentang alam semesta secara sistematis untuk menguasai pengetahuan,
fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, proses penemuan, dan
memiliki sikap ilmiah.
Trowbidge dan Byebee (1986: 38) memberikan sekema umum
ilmu pengetahuan sebagai berikut :
Gambar 2.2 IPA sebagai tubuh ilmu pengetahuan
Art History
KNOWLEDGE
Philosophy
Science
Music
Literatur
Berdasarkan diagram tersebut, Trowbidge dan Byebee (1986: 38)
mendefinisikan IPA sebagai berikut : Science is body of knowledge,
formed by of continous inquiry, and compassing the people who are
engaged in the scientific enterprise. Jadi karakteristik IPA yang kemudian
membedakannya dengan ilmu pengetahuan yang lain adalah bahwa IPA
ditempuh melalui berbagai penemuan proses empiris secara berkelanjutan
yang masing-masing akan memberi kontribusi dengan berbagai jalan
untuk membentuk sistem unik yang disebut IPA.
Suyoso (2001: 1-4) mengungkapkan bahwa nilai intelektualitas
IPA menuntut kecerdasan dan ketekunan, dalam mencari jawaban suatu
persoalan didasarkan atas pertimbangan rasional dan objektivitas dengan
melalui observasi atau kegiatan eksperimen untuk memperoleh data yang
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Secara lebih terperinci,
Robert B. Sund (1973: 12) menjelaskan tentang bagaimana suatu
pemahaman IPA ditemukan atau yang sekarang dikenal sebagai metode
IPA (scientific method). Setidaknya ada enam langkah untuk melakukan
proses IPA , yaitu (1) stating the problem, (2) formulating hypotheses, (3)
designing an experiment, (4) making obsevation, (5) collecting data from
the experiment, (6) drawing conclutions.
3. Pendekatan STM
Melihat karakteristik IPA sebagaimana yang diungkapkan pada
bagian sebelumnya, maka agar pembelajaran IPA lebih bermakna bagi
siswa, dalam arti memeiliki kontribusi yang memadai dalam rangka
meningkatkan kapasitas life skills siswa, pembelajaran harus dirancang
sedemikian rupa sehingga apa yang dipelajari siswa menyentuh persoalanpersoalan
yang berkembang dalam kehidupan sehari-hari. Pada titik inilah
pendekatan STM menjadi penting untuk diperhatikan.
a. Pengertian STM
Sains-Teknologi-Masyarakat (STM) yang diterjemahkan dari
akronim bahasa Inggris STS (“Science-Technology-Society”) adalah
sebuah gerakan pembaharuan dalam pendidikan IPA. Pembaharuan ini
mula-mula terjadi di Inggris dan Amerika, sekarang sudah merebak ke
negara-negara lain. Pendekatan STM dalam pendidikan IPA diyakini
oleh pakar-pakar di Amerika sebagai pendekatan yang tepat, sebab
pendekatan ini berusaha untuk menjembatani materi di dalam kelas
dengan situasi dunia nyata di luar kelas yang menyangkut
perkembangan teknologi dan situasi sosial kemasyarakatan. Hal ini
menggambarkan bahwa pendekatan STM dijalankan untuk
mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi masa depannya.
Pendekatan ini menuntut agar peserta didik diikutsertakan dalam
penentuan tujuan, perencanaan, pelaksanaan, cara mendapatkan
informasi, dan evaluasi pembelajaran. Adapun yang digunakan sebagai
penata (organizer) dalam pendekatan STM adalah isu-isu dalam
masyarakat yang ada kaitannya dengan Sains dan Teknologi.
National Science Teachers Association (NSTA) (1990 :1)
memandang STM sebagai the teaching and learning of science in the
context of human experience. STM dipandang sebagai proses
pembelajaran yang senantiasa sesuai dengan konteks pengalaman
manusia. Dalam pendekatan ini siswa diajak untuk meningkatakan
kreativitas, sikap ilmiah, menggunakan konsep dan proses sains dalam
kehidupan sehari-hari.
Definisi lain tentang STM dikemukakan oleh PENN STATE
(2006:1) bahwa STM merupakan an interdisciplinary approach which
reflects the widespread realization that in order to meet the increasing
demands of a technical society, education must integrate across
disciplines. Dengan demikian, pembelajaran dengan pendekatan STM
haruslah diselenggarakan dengan cara mengintegrasikan berbagai
disiplin (ilmu) dalam rangka memahami berbagai hubungan yang
terjadi di antara sains, teknologi dan masyarakat. Hal ini berarti bahwa
pemahaman kita terhadap hubungan antara sistem politik, tradisi
masyarakat dan bagaimana pengaruh sains dan teknologi terhadap
hubungan-hubungan tersebut menjadi bagian yang penting dalam
pengembangan pembelajaran di era sekarang ini.
Pandangan tersebut senada dengan pendapat NC State
University (2006: 1), bahwa STM merupakan an interdisciplinery field
of study that seeks to explore a understand the many ways that
scinence and technology shape culture, values, and institution, and
how such factors shape science and technology. STM dengan
demikian adalah sebuah pendekatan yang dimaksudkan untuk
mengetahui bagaimana sains dan teknologi masuk dan merubah
proses-proses sosial di masyarakat, dan bagaimana situasi sosial
mempengaruhi perkembangan sains dan teknologi.
b. Tujuan Pendekatan STM
Berdasarkan pengertian STM sebagaimana diungkapkan di
bagian sebelumnya, maka dapat diungkapkan bahwa yang menjadi
tujuan pendekatan STM ini secara umum sebagaimana diungkapkan
oleh Rusymansyah (2006: 3) adalah agar para peserta didik
mempunyai bekal pengetahuan yang cukup sehingga ia mampu
mengambil keputusan penting tentang masalah-masalah dalam
masyarakat dan sekaligus dapat mengambil tindakan sehubungan
dengan keputusan yang diambilnya.
PENN STATE (2006:1) secara lebih terinci merumuskan tujuan
STM/ STS sebagai berikut :
1) STS provides a bridge between the sciences and the liberal
arts.
2) STS encourages communication between diverse disciplines, so
students may better appreciate the many complex ways in
which science, technology, and society interact.
3) STS critically examines issues such as genetic engineering, the
environment, emergent diseases, computers and the Internet,
applied ethics, nuclear waste, and international agriculture.
4) STS provides students with the foundations for responsible
citizenship, and the skills necessary to succeed in a highly
competitive and constantly changing future workplace
Sedangkan NC State University (2006:1) menggariskan tujuan
program pembelajaran STM/STS sebagai berikut :
1) Help its students learn some of the alternative ways of thinking
and conducting research that characterize the interdisciplinary
Science, Technology & Society field, and to relate these to
larger human concerns
2) Enable its students to explore complex STS topics by seeing
them from multiple perspectives and in relation of other topics,
and to integrate STS information and concepts from a variety
of sources
3) Provide its students with the skills and resources to learn key
STS concepts, literature, practices, and issues in order to
encourage lifelong learning
Berdasarkan dua pandangan tersebut, maka dapat
disederhanakan bahwa STM dikembangkan dengan tujuan agar :
1) Peserta didik mampu menghubungkan realitas sosial dengan topik
pembelajaran di dalam kelas
2) Peserta didik mampu menggunakan berbagai jalan/ perspektif
untuk mensikapi berbagai isu/ situasi yang berkembang di
masyarakat berdasarkan pandangan ilmiah
3) Peserta didik mampu menjadikan dirinya sebagai warga
masyarakat yang memiliki tanggungjwab sosial.
c. Penerapan Pendekatan STM
Pendekatan STM, sesuai dengan pengertian dan tujuan yang
diungkapkan sebelumnya, dalam penerapannya di dalam kelas
sesungguhnya tidak membutuhkan konsep ataupun proses yang terlalu
unik. Sebagaimana menurut pandangan National Science Teachers
Association (1990:1), there are no concepts and/or processes uniqe to
STS. Hanya saja, ada beberapa prinsip yang harus dimunculkan dalam
pendekatan STM menurut National Science Teachers Association
(1990:2) yaitu sebagai berikut:
1) Peserta didik melakukan identifikasi terhadap persoalan dan
dampak yang ditimbulkan dari persoalan tersebut yang muncul di
sekitar lingkungannya
2) Menggunakan sumberdaya lokal untuk mencari informasi yang
dapat digunakan dalam penyelesaian persoalan yang telah berhasil
diidentifikasi
3) Menfokuskan pembelajaran pada akibat yang ditimbulkan oleh
sains dan teknologi bagi peserta didik
4) Pandangan bahwa pemahaman terhadap konten sains lebih
berharga daripada sekedar mampu mengerjakan soal
5) Adanya penekanan kepada keterampilan proses yang dapat
digunakan peserta didik untuk menyelesaikan persoalannya sendiri
6) Adanya penekanan pada kesadaran berkarir, terutama karir yang
berhubungan dengan sains dan teknologi
7) Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memperoleh
pengalaman tentang aturan hidup bermasyarakat yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang telah diidentifikasi
Dengan melihat karakteristik IPA dan pendekatan STM
sebagaimana yang diungkapkan di muka, maka dapat dilihat bahwa
keduanya memiliki prospek yang cukup baik dalam rangka
peningkatan life skills peserta didik. Pendekatan STM menghajatkan
agar peserta didik mampu merespon setiap perkembangan di
masyarakat secara scientific, itu berarti bahwa peserta didik diarahkan
untuk memiliki thinking skills dan sekaligus academic skills agar bisa
eksis hidup di masyarakat.
Secara sederhana dapat dituliskan bahwa persoalan yang
sekarang banyak muncul, yaitu adanya fenomena bahwa lulusan
lembaga-lembaga pendidikan formal belum cukup dibekali life skills,
maka pendidikan IPA dengan menggunakan pendekatan STM dapat
dijadikan sebagai alternatif pemecahan terhadap persoalan yang ada.
III. SIMPULAN
1. Pendidikan IPA selama ini masih berjalan secara teks book, kondisi ini
menyebabkan pendidikan IPA menjadi kurang bermakna dan tidak mampu
memberi bekal life skills kepada peserta didik untuk menjawab berbagai
persoalan yang muncul di masyarakat.
2. Pendekatan STM merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran IPA
yang bertujuan agar lulusannya memiliki kemampuan untuk menghadapi
berbagai persoalan yang muncul di masyarakat, hal ini karena pendekatan
STM selalu beruapaya untuk menghubungkan antara materi IPA di dalam
kelas dengan perkembangan teknologi dan dinamika masyarakat.
Daftar Pustaka
Anwar. (2004). Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education). Bandung: Penerbit
Alfabeta.
Depdiknas. (2002). Pengembangan Pelaksanaan Broad-Based Education, High-
Based Education, dan Life Skills di SMU. Jakarta: Depdiknas.
Firdaus M Yunus. (2004). Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Paulo freire-Y.B
Mangunwijaya. Yogyakarta: Logung Pustaka.
IOWA State University. (2003). Incorporating Developmentally Appropriate
Learning Opportunities to Assess Impact of Life Skill Development.
http://www.extension.iastate.edu/4H/lifeskills
Lifeskills4kids. (2000). Introduction & F.A.Q.
(Frequently Asked Questions). kdavis@LifeSkills4Kids.com
Suhandoyo (1993). Upaya Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia Melalui
Interaksi Positif dengan Lingkungan. Yogyakarta: PPM IKIP Yogyakarta.
Supriyadi. (1999). Buku Pegangan Perkuliahan Teknologi Pengajaran Fisika.
Yogyakarta: Jurdik Fisika FMIPA UNY
Suyoso. (2001). Ilmu Alamiah Dasar. Yogyakarta:
Trowbidge dan Byebee. (1986). Becoming a Secondary school science Teacher.
London: Merill Publishing Company.
Utah State Board of Education. (2001). Life Skills. www.caseylifeskills.org
Rusmansyah.(2000). Prospek Penerapan Pendekatan Sains-Teknologi-
Masyarakat (STM) dalam pembelajaran Kimia di Kalimantan Selatan.
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/40/editorial40.htm
National Science Teachers Association (1990). STS : A New Effort for Providing
Appropriate Scvience for All. http:/www.nsta.org/positionstatment&psid=34
Penn State (2006). Abaut STS.http://www.engr.psu.edu/sts/abaut.htm
NC State University (2006).Scince, Technology & Society (STS) Program.
http://www.chass.ncsu.edu/ids/sts/
Identitas Penulis
Nama : Sabar Nurohman, S.Pd.Si
NIP : 132309687
Jurusan : Pendidikan Fisika FMIPA UNY
Alamat Rumah : Berbah-Sleman-Yogyaklarta, HP : 081328599185
Alamat Kantor : Lab. Fisika Komputasi, Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA
UNY (0274) 550847

Tidak ada komentar:

Posting Komentar